06 Januari 1973
Keris di tengah kepulan asap ...
PAKAI sarung batik dan surjan lurik. Di kedua tangan yang telah menipis karena usia yang renta, ada sebilah keris. Dengan sedikit gemetar keris itu, hati-hati sekali, dibawanya ke atas pedupaan. Dan di tengah kepulan asap kemenyan dengan disaksikan sesajen kembang dan jajan pasal diucapkan mantra yang sayup: Wesi tega wes pertiwi, balung tega balung pertiwi, wesi pulosoro, kowe aja ngganggu marang aku, Kowe tak gawe becik, tak gawe bagus. Setelah itu situa tepekur sebentar. Badannya yang bongkok tambah melengkung. Tidak lama kemudian keris dibuka dari sarungnya. Pelan sekalian tetap hati-hati. Sekali lagi keris diasap-asapi. Ujung jari tangan kirinya memegang ujungnya, dan seperti orang menimang bayi, keris digerak-gerakkan sambil bibirnya yang tipis mendesiskan matera-matera lagi. Selesai, sikat kecil yang telah tersedia dicelupkan kedalam minyak, untuk kemudian dipoleskan di tubuh keris. Upacara kecil ini namanya memandikan dan memberi makan keris. Masing-masing keris punya makanan sendiri-sendiri. Bukan beras yang mahal itu Meminyaki keris, artinya memberinya makan", kata mBah Soma, asal Yogya dan punya mata pencaharian merawat keris. Tergantung asai keris itu. Keris yang berasal Majapahit - dan ini yang paling laris dicari orang karena konon sakti -- harus diberi makan dengan minyak tulang macan. Keris Sedayu, dengan minyak wangi. Keris asal Tuban tidak segenit keris Sedayu, karena cukup dipolesi minyak kelapa saja. Pating klutuk. mBah Soma yang sudah 72 tahun umurnya itu juga mengatakan: hampir semua keris pusaka selalu diberi warangan. Artinya racun yang kalau ditancapkan di tubuh manusia tanpa garansi bisa menghilangkan nyawa. Dulu warangan didapat dari tumbuh-tumbuhan, atau bisa ular. Ada pula yang dibuat dari kodok mati yang dibusukkan dan airnya dibuat untuk merendam keris. Di zaman yang serba praktis ini, warangan tidak perlu dicari lagi. Bukan saja jumlah ular berbisa sudah semakin berkurang atau air kodok busuk akan mengganggu kesehatan. "Warangan kini kami ganti dengan arsenik yang bisa dibeli di apotik", kata seorang pamong keris dari kraton Yogya. Walaupun warangan telah dilantik dengan arsenik, tidak berarti perawatan keris juga dipermodern. Sajen tetap harus diberikan. Setiap pasaran yang dianggap hari besar keris tersebut tidak boleh dilewatkan tanapa upacara sesajen. "Juga jangan sembarangan menyimpan keris", kata mBah Soma. Intinya harus ditempat yang bersih dan tidak boleh lebih rendah dari kepala orang berdiri. Lagi pula dua macam keris tidak bisa begitu saja disatukan menyimpannya. Misalnya yang luk (lekukan) 11 jangan dicampur dengan luk 3. Kalau dipaksakan, konon malam hari mereka berkelahi. "Pating klutak dan pating klutuk", tambah mBah Soma. "Besoknya, keris yang sudah saya bersihkan kemarinnya jadi kotor lagi". Dikencingi. Sebegitu jauh, mBah Soma tidak berani melanggar aturan yang telah dianutnya sekian puluh tahun kalau dilanggar, "orang yang merawat keris itu bisa sial, sakit atau kalau kesalahannya cukup besar, bisa nemu ajal", katanya Apakah mBah Soma pernah juga kuwalat oleh keris sakti? "Pernah, ketika saya memperbaiki keris". Tanpa diketahuinya dia telah melewati begitu saja salah satu syarat. Akibatnya, "tangan saya kesemutan dan linu", katanya. Secara pandangan zaman kini, kesemutan mBah Soma bisa disamakan dengan kurang vitamin sedang linu-linunya akibat rematik yang biasa diidap umur tua. Tapi dia tidak pergi ke dokter untuk menyembuhkan tangannya itu. Dengan caranya sendiri dia telah menolak tuah sang keris. Bagaimana? Katanya dengan geli: "Saya pergi kebelakang, lantas tangan saya itu saya kencingi ya terus sembuh". Keris yang dipercaya membawa sakti memang tetap dicari orang. Menurut cerita burung, keberhasilan bekas Presiden Soekarno mengepalai Republik ini sampai 21 tahun, tak lain karena almarhum memiliki beberapa bilah keris sakti. Konon Presiden yang kedua demikian juga. Beberapa waktu yang lalu, ada dikabarkan bahwa orang-orangnya beliau sibuk mencari keris Nagasasra yang asli. Nagasasra yang punya pamor bernama sabuk inten adalah senjata pusaka kerajaan Jenggala. Menurut "file terakhir" dunia perkerisan, Nagasasra dilimpahkan oleh pemiliknya Prabu Lembu Amiluhur kepada puteranya Pangeran Sinopradapa, Itu beratus tahun yang lalu. Di tangan siapa keris tersebut kini, mencarinya akan sama sulitnya dengan mencari jarum yang jatuh di alang-alang. Darah segar. "Keris dicari orang karena keris yang cocok akan membawa tuah dan berkah", kata mBah Soma pula. Tapi mBah Soma sendiri, entah apa sebabnya tidak begitu ngotot mencari keris yang konon bisa membawanya ke kedudukan tinggi atau kekayaan." Mungkin juga karena keris yang sakti tidak bisa begitu saja dipungut sembarang orang. Misalnya seperti keris yang bernama Kyai Cebol yang telah ditemukan Kyai Hasan Duryat almarhum, tidak disimpannya sendiri. Keris tersebut ke musian diserahkan kepada Paku Buwono XI. "Mereka yang ingin sukses dalam kariernya, carilah keris asal Pajajaran", begitu petuah mBah Soma. Tambahnya: "Bagi anak muda, jangan sekali-kali memelihara keris luk 11." Sebab keris yang punya lekukan 11 buah ini, biasanya buatan Majapahit, selalu haus darah segar. Darah muda yang cepat panas tidak baik digandengkan dengan keris yang sifatnya panas pula. Ingin sukses dalam perdagangan seperti Oei Tiong Ham, raja rokok kretek dari Kudus Nitisemito (almarhum) atau Hasyim Ning? "Sebaiknya memiliki keris yang berpamor pitrang blambangan ", kata mBah Soma. Biarpun dia tidak mau menyebut siapa-siapa saudagar besar yang memiliki pitrang blambangan, dengan mantap sekali dia berkata: "Sudah pasti, saudagar yang berhasa selalu mendapat berkah dari parang blambangan yang dimilikinya". Nah, itu sekedar contoh kepercayaan masih ada. *TEMPO online*
mirip punya mbahku keris nagasasra asli
BalasHapus