Saktinya Keris Nusantara



Keris, sebagai salah satu jenis senjata khas Nusantara, kini merupakan barang langka. Terlebih karena di zaman modern ini fungsinya telah tergantikan oleh senjata-senjata modern seperti pistol atau senapan. Disebut khas Nusantara karena tak ada dalam dalam cerita-cerita Mahabrata dan Ramayana asal India pun tidak ada menyebutkan senjata keris. Para pahlawan dalam cerita tersebut hanya menggunakan senjata-senjata lain seperti pedang, panah, cakra, tombak dan lain-lain. Meskipun demikian, ada kesamaan bahwa senjata-senjata mereka itu memiliki kekuatan magis yang juga dimiliki keris.

Berbagai daerah di Indonesia memiliki keris khas masing-masing, yang biasanya dibedakan dari bentuk atau motifnya. Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan, Bali dan daerah lain memiliki jenis-jenis keris dengan kekhasan dan pemaknaan tersendiri. Ida Bagus Dibia dalam bukunya berjudul Keris Bali (1995), memaparkan bagaimana makna keris bagi masyarakat Bali. Dahulu, lazim bagi masyarakat jika hendak berpergian selalu menyelipkan keris di punggung. Tujuannya agar si pembawa keris beserta keluarganya terlindungi dari serangan musuh. Musuh di sini tak hanya yang nyata tetapi juga dapat berupa yang ghaib. Zaman sekarang hal tersebut tidak lagi lazim dilakukan.

Tetapi pada upacara-upacara keagamaan di Bali keris masih ikut serta menjadi bagian dari upacara. Misalnya upacara Pasopati yang berarti upacara penyucian benda-benda sakral dari pengaruh-pengaruh jahat. Juga pada upacara yang menyertakan Tari Keris (Keris Dance) yang populer di kalangan para turis di Bali. Di situ beberapa orang yang dalam keadaan trans yang dipengaruhi oleh kekuatan gaib, menikam-nikam tubuhnya sendiri dengan keris tajam, namun tak satupun dari bagian tubuhnya yang akan terluka. Itu dipercaya sebagai bentuk pertunjukan bahwa kesaktian keris rupanya tidak dapat mengalahkan kekuatan gaib yang ada pada diri orang tersebut.

Ada pula yang disebut dengan Kawin Keris. Yaitu ketika terselenggara upacara perkawinan dan pengantin pria tidak dapat hadir oleh suatu sebab, maka kehadirannya dapat diwakili oleh sebilah keris. Hingga berlangsunglah upacara perkawinan pengantin wanita dengan perwakilan pengantin pria (keris) yang hasilnya akan dianggap sah secara adat Bali.

Dilihat dari sejarahnya, senjata tikam ini rupanya memiliki andil yang cukup besar pada zaman kerajaan Majapahit. Keris, dengan kekuatan gaibnya telah menjadi saksi dan berperan aktif dalam setiap peperangan antar negeri maupun dalam negeri. Sebut saja kisah keris buatan Mpu Gandring yang konon telah dikutuk untuk menikam tujuh turunan Ken Arok, sang penguasa Singosari. Bahkan keris itu pulalah yang menghabisi nyawa si pembuatnya sendiri. Ada pula adegan keris tersebut melayang dan menghilang sendiri dari tangan Ken Arok, lalu jatuh ke tangan Anusapati, anak tiri yang kemudian akan membunuh Ken Arok dengan keris tersebut. Hingga akhirnya Anusapati pun terbunuh dengan keris yang sama.

Proses pembuatan sebilah keris bertuah (keris dengan muatan gaib) pun tak sembarangan. Tak seperti pengrajin-pengrajin keris zaman sekarang yang dapat membuat keris dalam waktu kurang dari dua minggu, pembuatan keris bertuah ini dapat memakan waktu berbulan-bulan dengan berbagai ritual yang harus dijalani. Dari mulai membuat sesaji, berpuasa, sampai bersemedi di tempat-tempat khusus seperti Pura atau gunung. Perlu juga menentukan kapan hari baik untuk memulai pembuatan keris tersebut. Kemudian penting juga untuk mengadakan upacara pembersihan terhadap alat-alat yang akan digunakan berupa cetakan keris yang terbuat dari tanah liat. Setelah itu logam besi campuran dilelehkan dalam cetakan yang akhirnya akan membentuk kelok-kelok sebilah keris, sesuai kehendak si pembuat. Barulah kemudian dengan teknik-teknik tertentu keris disempurnakan dengan pahatan-pahatan pada permukaannya hingga menghasilkan bentuk dan motif yang khas.

Kerumitan dibalik kesederhanaan sebilah keris inilah yang menarik para wisatawan untuk membawa pulang keris sebagai koleksi khas dari Indonesia. Bahkan tak sedikit keris asli peninggalan zaman kuno Nusantara telah bertengger di museum-museum di Eropa. Karena orang-orang Belanda pada masa penjajahan dulu rupanya sempat membawa pulang keris-keris tersebut, barangkali sebagai kenangan akan Indonesia. Para kolektor asing pun telah menggemari keris, tak kalah gemar dengan masyarakat asalnya sendiri. Inilah salah satunya yang memotivasi Ida Bagus Dibia untuk juga mengoleksi keris dari tanah asalnya, Bali, dalam rangka mempertahankan kepemilikan keris asli Indonesia itu. Jangan sampai anak cucu kita nanti akhirnya mengenal keris dan memperoleh referensinya justru dari orang-orang Eropa. Jadi, siapa lagi yang mau mengoleksi keris?